Mengenal Ada' Tuho; History & Prediksi Masa Mendatang (I)

Acara Passorong, salah satu ritual Sakka Pambojangang atau Pa'banne Tauang. [Dok: Harmegi Amin]

Secara etimologi Ada' Tuho terdiri dari dua kata, yaitu ada' yang berarti adat (kebiasaan) dan tuho yang berarti hidup. Jadi sederhananya Ada' Tuho dapat diterjemahkan sebagai adat atau kebiasaan yang hidup atau kehidupan. Adat yang menghargai hidup dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sangat berharga.

History Ada' Tuho

Sebelum bicara jauh tentang Ada' Tuho, terlebih dahulu akan kami singgung soal adat Kondosapata dan istilah Uhai Sappaleleang yang sangat akrab di kalangan masyarakat Ulu Salu, termasuk Ulumanda. 

Kata uhai sappaleleang ini merujuk pada hukum Ada' Tuho. Uhai artinya air, sedangkan sappalelang adalah kata yang diadaptasi dari nipalele yang artinya dialirkan atau dibagikan. Oleh Bapak Saparuddin Daeng Padjala (adik kandung tomakaka Ulumanda Fachri Daeng Padjala) dikatakan bahwa uhai sappaleleang adalah istilah lain dari hukum Ada' Tuho.

Sehingga semua daerah yang memiliki falsafah uhai sappaleleang sudah pasti menganut hukum Ada' Tuho. Wilayah-wilayah itu dulu berpusat di Rantebulahang (masuk derah Kabupaten Mamasa sekarang).

Ulumanda sendiri termasuk dalam wilayah penganut falsafah uhai sappaleleang tersebut. Itu dapat dilihat dalam petikan ritual pemanna di Ulumanda terdapat kalimat 'to mattagala pemali uppa, tonarassi' uhai sappaleleang'.

Kondosapata disebut sebagai sumber falsafah Uhai Sappaleleang. Saat ini bagi warga Pitu Ulunna Salu (PUS), Kondosapata lebih identik dengan Kabupaten Mamasa, padahal sesungguhnya adalah sebuah peradaban purba di Rantebulahan yang manusianya menyebar hampir di seluruh wilayah Sulbar saat ini bahkan hingga ke Sulawesi Selatan bagian Timur (Toraja, Luwu dan Enrekang). Soal ini memang ada banyak versi sehingga perlu kami tegaskan bahwa tulisan ini hanya menyoal Ada' Tuho saja bukan mencari jejak leluhur atau mempertentangkan pendepat orang lain. Penulis hanya ingin fokus pada sumber Ada' Tuho sebagai sebuah hukum kebiasaan atau yang oleh van Vollenhoven disebutnya sebagai adatrecht (adat) yang diyakini dari bumi Kondosapata.

Bagi sebagian besar masyarakat Ulumanda diyakini bahwa Ada' Tuho bersumber dari bumi Kondosapata (Rantebulang) yang dibawa oleh Daeng Malulung, nenek orang Ulumanda yang merupakan keturunan dari I Pongkapadang dengan istrinya Torije'ne atau Tomenjari di Bura Lembong.

Kembali ke Ada' Tuho, bahwa didalamnya terkandung falsafah akan nilai-nilai hidup yang sangat agung. Bicara Ada' Tuho maka tiba-tiba penulis mengingat tentang magna charta di Inggris yang lahir dari sebuah hukum kebiasaan dalam diri dan keluarga Raja Jhon. Magna charta kemudian menjadi inspirasi lahirnya deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) di barat yang ternyata di belahan dunia lain nun jauh di timur tepatnya di Kondosapata sudah dikenal Ada' Tuho yang pesannya kurang lebih sama dengan magna charta yang diikrarkan Raja Jhon di tahun 1215.

Maka sebagai upaya pelestarian adat budaya dari wilayah adat Ulu Salu ini penulis kemudian termotivasi untuk mempelajari, mengkaji, dan mencoba turut ambil andil melestarikan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Ada' Tuho yang bagi kami amat agung itu.

Hal ini penting dilakukan karena Ada' Tuho bukan saja karena ia adalah identitas yang mengisi ruang hidup masyarakat Ulumanda, tetapi juga merupakan bagian dari kekayaan khasana budaya bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara umum dan masyarakat Mandar Ulu Salu secara khusus.

Teramat penting agar nilai-nilai Ada' Tuho selalu bersifat aplikatif yang kemudian mampu mengantar manusia Indonesia Mandar khususnya di Ulu Salu menjadi lebih hidup, aman, damai, bahagia dan sejahtera. Masyarakat penganutnya punya kepribadian serta mencintai budaya-nya sebagai identitas pembeda dengan suku atau etnis-etnis lainnya di bangsa ini. Semua itu harus berawal dari mengenal dan melestarikan budayanya, termasuk mendokumentasikan dalam tulisan.

Subtansi Ada' Tuho

Pada dasarnya Ada' Tuho memiliki empat pasal utama yang menjadi inti atau subtansi hukum adat tersebut. Ini disebut pemali uppa' panatta’ sarrihu. Andaikata bisa mengambil perumpamaan pada hukum yang tertulis dan dikodifikasi, maka mungkin inilah Pancasila-nya Ada' Tuho. Pemali Uppa’ adalah empat pasal aturan hidup dalam hukum Ada' Tuho dan panatta’ sarrihu adalah pantangan-pantangan dalam masyarakat. Poin-poinnya dari pemali uppa’ adalah sebagai berikut:

1. Sakka’ Pambojangang atau Pa'banne Tauang

2. Sakka Pariama atau Pa'totibojoa

3. Panda' Tomate

4. Rendengan Talottto

Selanjutnya akan kita bahas satu persatu, sebagai berikut:

Sakka' Pambojangang atau Pa'banne Tauang.

Hukum sakka' pambojanga adalah aturan-aturan dalam hal pernikahan. Sakka' arti sederhananya adalah sedekah atau mungkin mahar, sedang pambojangang adalah masalah-masalah perkawinan dan rumah tangga.

Dalam hukum Sakka Pambojangang atau pa’banne tauang dikenal ritual yang disebut passorong. Sejak zaman leluhur tradisi ini ada, lalu turun-temurun hingga di masyarakat Ulumanda saat ini di setiap acara pernikahan. Dalil atau pesan leluhur menyoal sakka pambojanga yang pernah dikenal masyarakat Ulumanda yakni: “Menna menna malutta-lutta sakka pambojanga, matadakkai anna pa’da pamosokai anna malila”. Maknanya ialah jika terdapat orang tidak serius atau hanya bermain-main dengan urusan pernikahan dan rumah tangga maka musibah (bala’) akan datang padanya dan bumi yang dia pijak, diilustrasikan dengan teriris pedang (malila).

Bermain-main dengan urusan pernikahan di sini misalnya menceraikan istri tanpa sebab, meninggalkan suami lalu pergi dengan laki-laki lain, dan perbuatan lain yang sejenisnya. Itu adalah musibah. Hal ini diyakini bahwa ketika dalam masyarakat terdapat satu atau lebih orang yang bermasalah dengan urusan rumah tangga-nya (sakka pambojangang) maka musibah akan datang di negeri atau kampung tempat dia bermukim. Peristiwa ini biasa dikenal dengan tosisara-sara di pambojangang.

Perkembangan manusia modern sama sekali tidak mengikis makna sakkapambojanga-passoro di masyarakat Ulumanda kini. Meskipun memang tidak dapat dipungkiri tradisi ini mengalami banyak pengikisan, utamanya dalam hal ritual. Buktinya yaitu tradisi passorong tempo dulu sudah berbeda dengan passorong yang dapat ditemui hari ini di setiap pernikahan orang Ulumanda. Jika dulu menurut penuturan warga, ritual passorong identik dengan marrende tedong (menggiring kerbau) namun seiring dengan  punahnya kerbau (tedong), maka marrende tedong berubah menjadi massorong tedong. Tedong atau pa’tedongang dalam pengertian sekarang berbeda dengan masa lalu. Jika di masa lampau tedong adalah benar-benar wujud binatang kerbau, maka hari ini tedong bisa berupa wujud yang bukan kerbau lagi tetapi bernilai atau berharga sama dengan kerbau. Jadi kendatipun uang tunai ketika masyarakat sepakat menilai sebagai kerbau maka itu sah dianggap sebagai tedong (kerbau). Dalam hal ini ada pergeseran wujud tetapi nilai tetap bertahan.


*Bersambung

Comments

Popular posts from this blog

Berikut adalah Nama-nama 18 Tomakaka di Ulumanda

Cerita Rakyat: Legenda Terjadinya Danau Tamerimbi